Sabtu, 06 Mei 2017

Ibnu Taimiyah

Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

 

Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia menggilirkan kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memunculkan di tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir rahimahullahu mengatakan: “Mereka sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun. Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang lainnya. Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.” Tetapi belakangan, banyak dari mereka yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan (istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah?
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat, sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.

Akhlak dan Kepribadiannya

Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf nahi munkar, Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam Al-Wafi bil Wafayat (2/375): “Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Tidaklah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun meninggalkannya.”
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya, membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan, dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang: “Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.”
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan: “Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan keislaman yang baik.”
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim rahimahullahu menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan: “Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak pula memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya sepeserpun bagi saya.”2
Ibnu Katsir rahimahullahu, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut. Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka. Kata beliau kepada Sultan: “Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan untuk diri saya.”
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang mengikat prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka membantah: “Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal?”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam dipenjara: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta melakukan makar terhadapnya.”
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: “Di antara keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?’
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.”
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut. Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.

Guru dan Murid Beliau

Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili, Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Seandainya Syaikh Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah –pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung dan musuh beliau–, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).”
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir rahimahullahu, penyusun tafsir yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di pemakaman Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu penulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil minum zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri rahimahullahu, dia pernah menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak, lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair, lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan) tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

from: http://haulasyiah.wordpress.com/2009/02/04/sejarah-hidup-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah/

Imam Bukhari Rahimahullah


Imam Bukhari Rahimahullah

Posted: 07 Mei 2011 by www.syirkah.com
 
Nasab dan Kelahiran Beliau

beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja’fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.

Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu ‘Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.

Ibadah dan Muamalah Beliau
Bakar Abu Said berkata,” Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya’ berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka,” Pulanglah kalian malam ini,” Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersebut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,”Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya.”
Bakar Abu Said juga berkata,” Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya,” Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!”,Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab,” Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.”
Nasj bin Said berkata,” Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa.”
Muhammad bin Yusuf berkata,” Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat.”
Pujian Ulama kepadanya
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata,” Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,”Darimana kamu wahai pemuda?”, Maka akupun menjawab,” dari penduduk Bukhara.”. Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?,” keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,”Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu.” lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata,” Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu.”
Muhammad bin Ishaq berkata,” Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah.”
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata,” Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai.”

Kedalaman Ilmu Haditsnya
Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.
Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan  hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya.
Tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab,” Aku tidak tahu tentang hadits tersebut.” lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi “Tidak tahu.” demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata,” Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya.”
Lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab,” Saya tidak tahu hadits tersebut.” Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,” Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.

Majelis Imam Al Bukhori
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami’, tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan,” Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha’ (penghulu para ahli fiqih).

Hikmah
Abu Sa’id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami’, At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,”Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka.”
Imam Bukhori berkata,” gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur’an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu,” [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail,” Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur’an?’ Beliau menjawab,” Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq” Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata,” Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an.” Maka beliau menjawab,” Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ,” Demi Thur dan demi kitab yang tertulis.” [QS Ath Thur 1-2]

Wafat beliau
Abdul Wahin bin Adam berkata,” Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya,” Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?.” Beliau menjawab,” Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori.” , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Abul Hasan bin Salim berkata,” Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H.”
Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu.”
maraji:
Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
Siyar A’lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi

AQIQAH SURABAYA

AQIQAH SURABAYA
Syirkah Aqiqah 0851 000 999 16