Kamis, 11 Mei 2017

URGENSI PEMBERIAN NAMA ANAK

Urgensi Pemberian Nama Terbaik
Nama dalam bahasa Arab disebut dengan isim. Makna isim bisa jadi adalah alamat (tanda). Isim juga bisa bermakna as samuu (sesuatu yang tinggi). Sehingga isim (nama) adalah tanda yang tertinggi (mencolok) pada seseorang.
Dengan nama inilah akan membedakan seseorang dan lainnya. Di antara maksud inilah para ulama bersepakat (berijma) tentang wajibnya pemberian nama pada laki-laki dan perempuan.[1] Sehingga tidak boleh seseorang pun di muka bumi ini yang tidak memiliki nama. Karena jika tidak punya nama, bagaimana bisa membedakannya dari manusia lainnya.
Karena pentingnya seseorang memiliki nama, sampai-sampai para pakar hadits ketika menemukan hadits terdapat seorang perowi yang mubham (tidak dikenal namanya), mereka pun mendhoifkan hadits tersebut sampai diketahui jelas siapa nama perowi tersebut.
Di antara urgensi pemberian nama terbaik disebabkan nama dapat membawa pengaruh pada orang yang diberi nama. Oleh karena itu, orang Arab mengatakan,
لِكُلِّ مُسَمَّى مِنْ اِسْمِهِ نَصِيْبٌ
"Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya."
Ini menunjukkan bahwa jika nama yang diberikan adalah nama yang terbaik, maka atsarnya (pengaruhnya) pun baik. Oleh karenanya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan bahwa nama yang terbaik adalah Abdullah karena nama tersebut menunjukkan penghambaan murni pada Allah. Begitu pula, dalam beberapa hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang memberi nama dengan nama yang buruk seperti Ashiyah (wanita yang bermaksiat, dengan huruf ain dan shod), Hazn (sedih) dan Zahm (sempit).
Intinya, nama begitu pengaruh dalam diri orang yang diberi nama. Coba bayangkan bagaimana jika seorang anak diberi nama dengan Hazn (sedih), pasti ia akan jadi orang yang terus-terusan bersedih karena mengingat namanya tersebut. Itulah urgensi penting dalam pemberian nama bagi si buah hati.
Pengaruh lainnya lagi, dari nama terbaik, seseorang dapat mengetahui bagaimanakah orang tuanya. Orang tuanya dapat diketahui dari nama anaknya, apakah ortunya itu sholih atau tholih (lawan dari sholih). Sebagaimana orang arab pun mengatakan,
مِنْ اِسْمِكَ أَعْرِفُ أَبَاكَ
"Dari namamu, aku bisa mengetahui bagaimanakah ayahmu."
Dari nama yang baik pula, seseorang bisa menyebarkan kebaikan. Lihatlah bagaimana jika seseorang diberi nama "Musa". Dari nama ini, setiap orang yang mendengar nama tersebut bisa mengingat bagaimanakah sifat dan akhlaq mulia dari Nabi Musa alaihis salam. Oleh karena itu, pemberian nama yang baik di sini termasuk menyebar sunnah hasanah di tengah-tengah umat. Maksud kami ini sebagaimana disebutkan dalam hadits,
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
"Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu." (HR. Muslim no. 1017)[2]
Inilah di antara urgensi memberi nama yang baik.
Waktu Terbaik dalam Pemberian Nama
Mengenai waktu terbaik dalam pemberian nama dapat kita lihat dalam hadits-hadits berikut.
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وُلِدَ لِىَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِى إِبْرَاهِيمَ
"Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti ayahku yaitu Ibrahim." (HR. Muslim no. 2315)
Dari Abu Musa, ia mengatakan,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ ، وَدَفَعَهُ إِلَىَّ ، وَكَانَ أَكْبَرَ وَلَدِ أَبِى مُوسَى .
"Anak laki-lakiku lahir, kemudian aku membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lalu memberinya nama Ibrahim, beliau menyuapinya dengan kunyahan kurma dan mendoakannya dengan keberkahan, setelah itu menyerahkannya kepadaku." Ibrahim adalah anak tertua Abu Musa." (HR. Bukhari no. 5467, 6198 dan Muslim no. 2145)
Dari Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى
"Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya dan diberi nama." (HR. Abu Daud no. 2838, An Nasai no. 4220, Ibnu Majah nol. 3165, Ahmad 5/12. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari hadits Abu Musa di atas, Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, "Hadits ini menunjukkan bahwa Abu Musa bersegera membawa bayinya yang baru lahir kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, lalu ditahnik setelah diberi nama sebelumnya. Dalil ini menunjukkan bahwa bersegera dalam pemberian nama pada si buah hati itu lebih baik, dan tidak mesti menunggu pemberian nama pada hari ketujuh."[3]
Al Baihaqi mengatakan, "Hadits yang membicarakan pemberian nama pada si buah hati di hari kelahiran lebih shahih daripada hadits yang menunjukkan pemberian nama pada hari ketujuh."[4]
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah dalam kitabnya Tasmiyatul Mawlud mengatakan, "Terdapat dalam sunnah Nabi shalllallahu alaihi wa sallam bahwa pemberian nama itu ada tiga waktu:
  1. Di hari kelahiran,
  2. Sampai hari ketiga dari hari kelahiran,
  3. Di hari ketujuh dari kelahiran,
Perbedaan ini adalah perbedaan variatif dan dalam hal ini ada kelonggaran untuk memilih salah satunya."[5]
Apa yang disebutkan oleh Syaikh Bakr Abu Zaid sama halnya dengan yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Mawdud[6]. Namun sebagaimana kata Ibnu Hajar di atas, dalam pemberian nama lebih cepat itu lebih baik yaitu lebih bagus memberi nama pada hari pertama. Wallahu alam.
Pemberian Nama dan Nasab Menjadi Hak Ayah (Bukan Ibu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,"Mengenai pemberian nama menjadi hak ayah itu tidak ada perselisihan di antara para ulama. Hadits-hadits sebelumnya (yang membicarakan tentang pemberian nama, pen) juga menunjukkan akan hal ini. "
Beliau rahimahullah juga mengatakan, "Sebagaimana tidak ada perselisihan bahwa ayah yang berhak memberi nama, maka tidak ada perselisihan pula mengenai masalah anak dipanggil dengan nama ayahnya bukan dengan nama ibunya. Sehingga anak tersebut dipanggil dengan fulan bin fulan (dan bukan fulan bin fulanah, pen). Di antara dalil yang menunjukkan hal ini, firman Allah Taala,
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
"Panggilah mereka dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka." (QS. Al Ahzab: 5). Anak hanyalah mengikuti ibunya dalam masalah merdeka atau budak. Sedangkan ia tetap mengikuti ayahnya dalam nasab dan dalam pemberian nama." [7]
Dalil lain yang dapat kita lihat adalah hadits dari Ibnu Umar, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ فَقِيلَ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ
"Apabila Allah mengumpulkan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir kelak di hari Kiamat, maka akan dikibarkan bendera bagi setiap pengkhianat, lalu dikatakan, 'Ini adalah bendera si fulan bin fulan'." (HR. Muslim no. 1735). Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang akan dipanggil pada hari kiamat dengan nama bapak mereka (fulan bin fulan), bukan nama ibu mereka (fulan bin fulanah).
Urutan Nama Terbaik Bagi Si Buah Hati[8]
Urutan pertama: Nama Abdullah dan Abdurrahman
Dalam ktab Al Adzkar, Imam An Nawawi Asy Syafii rahimahullah menyebutkan Bab "Penjelasan nama yang paling dicintai oleh Allah". Lantas beliau bawakan dua hadits berikut ini.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللَّهِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ
"Sesungguhnya nama kalian yang paling dicintai di sisi Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman."(HR. Muslim no. 2132)
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
وُلِدَ لِرَجُلٍ مِنَّا غُلاَمٌ فَسَمَّاهُ الْقَاسِمَ فَقُلْنَا لاَ نَكْنِيكَ أَبَا الْقَاسِمِ وَلاَ كَرَامَةَ . فَأَخْبَرَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « سَمِّ ابْنَكَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ »
"Seorang laki-laki di antara kami ada yang memiliki anak, kemudian dia memberi nama "Al Qasim". Maka kami berkata, "Kami tidak akan menjuluki kamu dengan Abu Al Qasim dan kami tidak akan memuliakannya. Lalu orang tersebut memberitahukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau bersabda, "Berilah anakmu nama Abdurrahman." (HR. Bukhari no. 6186)
Kedua nama ini memiliki keunggulan dari segi:
Pertama: Nama ini mengandung sifat penghambaan yang khusus antara hamba dan Allah dibanding dengan nama-nama (yang bersandar pada asmaul husna) lainnya. Karena nama Abdullah mengandung sifat ubudiyah (penghambaan dalam ibadah) dan ini hanya ada kaitannya antara Allah dan hamba. Begitu pula nama Abdurrahman mengandung sifat ubudiyah (penghambaan) karena sifat Ar Rahman adalah sifat rahmat yang khusus antara hamba dan Allah.[9]
Kedua: Nama berupa penghambaan yang terdapat dalam kedua nama tersebut dikhususkan dalam Al Quran dari nama-nama terbaik lainnya. Semisal dapat ayat-ayat berikut,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
"Dan bahwasanya tatkala Abdullah (yaitu hamba Allah, Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadat), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya." (QS. Al Jin: 19)
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
"Dan Ibadurrahman (hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang) itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan." (QS. Al Furqon: 63)
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
"Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)" (QS. Al Isro: 110)
Ketiga: Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberi nama pada anak pamannya (Al Abbas) dengan nama Abdullah.
Keempat: Sekitar 300 sahabat Nabi memiliki nama Abdullah.[10]
Urutan kedua: Nama bentuk penghambaan pada asmaul husna lainnya.
Seperti Abdul Aziz, Abdul Malik, Abdur Rozaq, Abdul Halim, dan Abdul Muhsin.[11]
Urutan ketiga: Nama para Nabi dan Rasul Allah
Seperti Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Isa dan Muhammad, yang intinya ada 25 nama Nabi yang disebutkan dalam Al Quran.
Dari Al Mughirah bin Syu'bah ia berkata, "Ketika aku mendatangi kota Najran, para penduduknya bertanya kepadaku: Sesungguhnya kalian membaca "Wahai saudara Harun". Padahal Musa hidup sebelum Isa berjarak beberapa tahun. Maka ketika aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku menanyakan hal itu kepada beliau, dan beliau pun menjawab,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِمْ وَالصَّالِحِينَ قَبْلَهُمْ
"Dulu mereka memberi nama dengan nama-nama para Nabi mereka dan orang-orang shaleh dari kaum sebelum mereka." (HR. Muslim no. 2135)
Dalil lainnya adalah bolehnya memiliki nama seperti nama "Muhammad", nama Nabi kita. Bahkan nama inilah yang terbaik dari nama para Nabi alaihimus salam lainnya[12]. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
تَسَمَّوْا بِاسْمِى وَلاَ تَكَنَّوْا بِكُنْيَتِى
"Berilah nama dengan namaku (Muhammad) dan janganlah kalian berkunyah dengan kunyahku (Abul Qosim)". (HR. Bukhari no. 6187 dan Muslim no. 2134)
An Nawawi membawakan hadits-hadits di atas dalam Bab "Larangan berkunyah dengan Abul Qosim dan penjelasan mengenai nama-nama yang disunnahkan." Hal ini menunjukkan bahwa nama para Nabi dan Rasul adalah di antara nama terbaik yang bisa digunakan.
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, "Dari hadits ini sekelompok ulama berdalil bahwa bolehnya memberi nama dengan nama para Nabi alaihimus salaam, bahkan ini adalah ijma (kesepakatan) ulama. Kecuali Umar bin Khottob yang berpendapat agak sedikit berbeda dalam hal ini."[13]
Urutan keempat: Nama orang sholeh
Dalil hal ini sudah disebutkan sebelumnya dalam hadits Al Mughirah bin Syu'bah. Yang paling baik digunakan adalah nama para sahabat karena merekalah generasi terbaik dari umat ini. Seutama-utama dari mereka adalah para Khulafaur Rosyidin, yaitu Abdullah (Abu Bakr), Umar, Utsman, dan Ali.
Untuk anak perempuan bisa menggunakan nama istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam (Ummahatul Mukminin). Menurut pendapat yang kuat, istri yang dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada 11[14] :
  1. Khadijah binti Khuwailid;
  2. Saudah binti Zumah;
  3. Aisyah binti Abu Bakar Ash Shidiq;
  4. Hafshoh binti Umar bin Al Khaththab;
  5. Zainab binti Khuzaimah;
  6. Ummu Salamah Hindun binti Abu Umayyah;
  7. Zainab binti Jahsy bin Rayyab;
  8. Juwairiyyah binti Al Harits;
  9. Ummu Habibah Romlah binti Abu Sufyan;
  10. Shofiyah binti Huyai bin Akhthab;
  11. Maimunah binti Al Harits.[15]
Sebagai contoh yang menggunakan nama sahabat adalah anak-anak Az Zubair bin Al Awam. Beliau menamakan sembilan anaknya dengan nama para sahabat yang mengikuti perang Badar. Anak-anaknya tersebut diberi nama:
  1. Abdullah
  2. Al Mundzir
  3. Urwah
  4. Hamzah
  5. Jafar
  6. Mushab
  7. Ubaidah
  8. Kholid
  9. Umar[16]
Urutan kelima: Nama lainnya yang memenuhi syarat dan adab
Syarat dalam pemberian nama sebagai berikut:
Syarat Pertama: Menggunakan bahasa Arab.
Dari sini, menunjukkan terlarangnya menggunakan nama-nama bukan Arab seperti Joseph, Robert, Markus, Julia dan Diana.
Syarat Kedua: Memiliki susunan dan makna yang bagus.
Sehingga dari sini tidak boleh menggunakan nama makruh dan terlarang. Begitu juga terlarang menggunakan nama yang mengandung celaan dan mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya). Oleh karena itu, nama semacam ini Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai merubahnya.
Ath Thobari rahimahullah mengatakan, "Tidak sepantasnya seseorang memakai nama dengan nama yang jelek maknanya atau menggunakan nama yang mengandung tazkiyah (menetapkan kesucian dirinya), dan tidak boleh pula dengan nama yang mengandung celaan. Seharusnya nama yang tepat adalah nama yang menunjukkan tanda bagi seseorang saja dan bukan dimaksudkan sebagai hakikat sifat. Akan tetapi, dihukumi makruh jika seseorang bernama dengan nama yang langsung menunjukkan sifat dari orang yang diberi nama. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mengganti beberapa nama ke nama yang benar-benar menunjukkan sifat orang tersebut. Beliau melakukan semacam itu bukan maksud melarangnya, akan tetapi untuk maksud ikhtiyar (menunjukkan pilihan yang lebih baik)."[17]
Adab dalam pemberian nama yang sebisa mungkin dilakukan:
Pertama: Menggunakan nama sesuai urutan terbaik yang telah kami jelaskan di awal.
Kedua: Menggunakan nama yang terdiri dari huruf yang jumlahnya sedikit.
Ketiga: Menggunakan nama yang mudah diucapkan di lisan.
Keempat: Memudahkan orang yang mendengar untuk mengingatnya.
Kelima: Menggunakan nama yang cocok dengan orang yang diberi nama dan tidak keluar dari kebiasaan yang dipakai dalam agamanya atau masyarakat sekitarnya.[18]
Dari penjelasan adab tambahan ini menunjukkan bahwa nama yang kurang bagus adalah nama yang terdiri dari banyak kata seperti: Andika Syarifudin Guntur Prasetyo, Linggar Simping Pembayun Retno Utami. Nama ini kurang disukai karena orang-orang akan beranggapan bahwa satu nama ini terdiri dari beberapa orang. Inilah sisi kurang bagusnya untuk nama-nama semisal itu.
Insya Allah, untuk pembahasan ini kami masih lanjutkan dalam tulisan selanjutnya yaitu mengenai nama yang haram dan makruh untuk digunakan. Semoga Allah mudahkan.
Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi siapa saja yang menanti buah hatinya. Semoga Allah beri keberkahan.
Diselesaikan di waktu Ashar, 11 Jumadil Awwal 1431 H (25/04/2010), Panggang-GK.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(rumaysho.com)

[1] Marootibul Ijma, hal. 154.
[2] Hadits ini dibawakan oleh An Nawawi dalam Bab "Dorongan untuk sedekah meskipun dengan setengah biji kurma atau kalimat yang baik", juga pada Bab "Barangsiapa membuat contoh yang baik atau yang jelek, atau mengajak pada yang petunjuk atau kesesatan."
[3] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 9/588, Darul Marifah, Beirut, 1379
[4] Fathul Baari, 9/589.
[5] Tasmiyatul Mawlud, Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 28, Darul Ashimah, cetakan ketiga, tahun 1416 H
[6] Lihat Tuhfatul Mawdud, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Bab VIII, pasal pertama, Maktabah Darul Bayan, 1391 H
[7] Tuhfatul Mawdud, hal. 135.
[8] Kami urutkan berdasarkan penyebutan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya "Tasmiyatul Mawlud".
[9] Faedah dari Al Futuhaat Ar Robbaniyah alal Adzkar An Nawawiyah, Ibnu Allan Asy Syafii, 6/72, Darul Kutub Al Imiyyah, cetakan pertama, tahun 1424 H.
[10] Faedah dari Tasyimatul Mawlud, hal. 32-33.
[11] Lihat Tasyimatul Mawlud, hal. 33-34.
[12] Lihat Tasyimatul Mawlud, hal. 36.
[13] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 14/117, Dar Ihya At Turots, cetakan kedua, 1392.
[14] Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab Shiroh Nabi, Ar Rohiqul Makhtum.
[15] Mereka inilah para wanita yang pernah dinikahi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau hidup bersama mereka. Ada dua orang yang meninggal dunia semasa beliau masih hidup yaitu Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah, yang berarti beliau meninggal dunia dengan meninggalkan sembilan janda.
[16] Lihat Tasmiyatul Mawlud, hal. 38.
[17] Dinukil dari Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 10/577, Darul Marifah, 1379.
[18] Lihat syarat dan adab pemberian nama dalam Tasmiyatul Mawlud, hal. 39-43.

Senin, 08 Mei 2017

Hukum Anak di LUar Nikah

KATA PENGANTAR
—-
Bismillahirrahmanirrahim.
—-Banyaknya kasus anak yang lahir di luar nikah atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai “anak zina” mendorong Penulis untuk mengulas tulisan tentang “anak zina” dalam Kompilasi Hukum Islam yang pernah disampaikan Penulis pada Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H, dengan perbaikan judul menjadi “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam.
—-Harapan Penulis dengan ditampilkan judul ini, semoga dapat membuka cakrawala hukum bagi masyarakat sehubungan makin maraknya kelahiran anak di luar nikah, baik yang diselamatkan oleh ibu yang melahirkannya atau diberikan kepada orang lain, atau dijual bahkan yang lebih tragis dibuang di selokan (parit), praktik aborsi dan lain-lain untuk menutupi rasa malu keluarga dan sebagainya.
—-Tulisan ini hanya sekelumit persoalan hukum bagi anak yang lahir di luar nikah, yang ternyata masih banyak diperlukan oleh masyarakat Indonesia untuk menjawab problem tersebut di atas.
Kritik dan saran sangat kami tunggu demi perbaikan tulisan ini, dan pada akhirnya semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, terimakasih.
—-
Yogyakarta, 2 Maret 2009.
Penulis,
—-
—-
—- Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH.
—-
—-
Putusan Pengadilan Tinggi Agama
—-
MENEMPATKAN “ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH “SECARA HUKUM ISLAM
PENDAHULUAN
—-Islam adalah Agama kaffah yang mengatur semua lini kehidupan manusia, mengenai hal-hal yang menyangkut aqidah, ibadah, kemasyarakatan, kesehatan, lingkungan, hukum dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya tentang hukum pernikahan. Karena itu, Din al-Islam merupakan pedoman hidup yang mengajarkan kepada penganutnya untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ideal yang dikehendakinya.
—-Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di Indonesia yang eksistensinya telah diakui di samping hukum Adat dan hukum Barat/Eropa yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia, sebagian ditetapkan Allah secara jelas dan pasti dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (al-Hadis) dan sebagian lainnya merupakan hasil Ijtihad para ahli hukum Islam yang diambil dari dasar/nilai-nilai pokok yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah (maqashid at-tasyri’), yang lebih dikenal dengan istilah fikih.
—-Di antara keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan dua sistem hukum lainnya adalah adanya dimensi keadilan, kebenaran dan kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hukum yang ditetapkan.
Karena itu, dalam setiap hukum yang ditetapkan, selain mengandung dimensi keadilan juga mengandung kebenaran dan kemaslahatan dari sudut pandang manusia secara keseluruhan (universal).
—-Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia, guna menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur mengembang biakkan keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, sebagaimana yang dikandung dalam Q.S. al-Ruum ayat 21, yang artinya ;
—-Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar-Rum (30) : 21)¬
—-
—-Di Indonesia, peraturan tentang (hukum) perkawinan diatur dalam UU Nomor I Tahun 1974 yang selanjutnya secara rinci dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang keberlakuannya diatur dalam INPRES Nomor 1 Tahun 1991.
—-Pembicaraan perkawinan dan segala permasalahannya tentu tidak lepas dengan status anak yang dilahirkan, baik yang dilahirkan sebagai akibat hubungan suami isteri yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang terikat tali perkawinan yang sah maupun hubungan suami isteri di antara laki-laki dan perempuan yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah.
—-Untuk kasus yang pertama tidaklah menjadi pembahasan di sini, yang menjadi bahasan di sini adalah kasus yang kedua.
—-Dalam hukum Islam, hubungan suami isteri antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat tali pernikahan disebut “zina”, sehingga apabila akibat hubungan dimaksud membuahkan janin, maka setelah dilahirkan anak tersebut adalah anak luar nikah atau yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan istilah “anak zina”.
—-
—-
ANAK DI LUAR NIKAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum
—-Jika diteliti secara mendalam, Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara khusus dan pasti tentang pengelompokan jenis anak, sebagaimana pengelompokan yang terdapat dalam hukum perdata umum. Dalam Kompilasi Hukum Islam selain di.jelaskan tentang kriteria anak sah (yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah :
  1. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
  2. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
—-Juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
—-Di samping itu dijelaskan juga tentang status anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum pernikahan. Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam  :
—-“Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.
—-Begitu juga dalam Pasal 75 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan tentang status anak dari perkawinan yang dibatalkan, yang berbunyi “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
—-Sedangkan dalam Pasal 162 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang status anak li’an (sebagai akibat pengingkaran suami terhadap janin dan/atau anak yang dilahirkan isterinya).
Dengan demikian, jelas bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak ada mengelompokkan pembagian anak secara sistematis yang disusun dalam satu Bab tertentu, sebagaimana pengklasifikasian yang tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 42 Bab IX UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
  1. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
  2. Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawainan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
  3. Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
—-Karena itu untuk mendekatkan pengertian “anak di luar nikah” akan diuraikan pendekatan berdasarkan terminology yang tertera dalam kitab fikih, yang dipadukan dengan ketentuan yang mengatur tentang status anak yang tertera dalam pasal-pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
—-Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminology anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah.
—-Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.
Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang popular dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya.
—-Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyengkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
—-Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyi makna “anak zina” sebagaimana definisi yang dikemukaan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
—-Semakna dengan ketentuan tersebut, pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
—-“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
—-Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin/ pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan, sebagai akibat dari perbuatan zina.
—-Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar perkawinan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata umum, sebab dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, di mana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina.
—-Perbedaan anak zina dengan anak luar kawin menurut hukum perdata adalah :
  1. Apabila orang tua salah satu atau keduannya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian mereka melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak zina.
  2. Apabila orang tua anak di luar kawin itu masih sama-sama bujang (jejaka, perawan, duda dan janda), mereka mengadakan hubungan seksual dan melahirkan anak maka anak itu disebut anak luar kawin.
—-Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 KHI, adalah : “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
—-Yang termasuk anak yang lahir di luar pernikahan adalah :
  1. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya.
  2. Anak Yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih.
  3. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya.
  4. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan.
  5. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepesusuan.
Angka 4 dan 5 di atas dalam hukum Islam disebut anak Subhat yang apabila diakui oleh Bapak subhatnya, nasabnya dapat dihubungkan kepadanya.
—-
B. Akibat Hukum
—-Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu:
1.   Hubungan Nasab.
—-Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Hal demikian secara hukum anak tersebut sama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
—-Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencemaran terhadap lembaga perkawinan.
—-
2.   Nafkah.
—-Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah ibunya dan keluarga ibunya saja.
—-Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis merupakan anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di atas, tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada anak tersebut.
—-Hal tersebut berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib memberikan nafkah dan penghidupan yang layak seperti nafkah, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-anaknya, sesuai dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali pernikahan.
—-Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah kepada anak-anaknya, sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105 huruf (c) dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
—-Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang memberikan nafkah kepada anak yang demikian, maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat manusiawi, bukan kewajiban yang dibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami (genetiknya).
—-
3.   Hak-Hak Waris.
—-Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibynya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).
—-
4.   Hak Perwalian
—- Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat dari perbuatan zina (di luar perkawinan) tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetik) tersebut tidak berhak atau tidak sah untuk menikahkannya (menjadi wali nikah) , sebagaimana ketentuan wali nikah yang ditentukan dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :
  • Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
  • Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
  • Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir di luar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.
—-
—-
KESIMPULAN
  1. Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina”, tetapi mengenal istilah “anak yang lahir di luar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-¬laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamili, atau lahir dari wanita korban perkosaan, atau lahir dari wanita yang dili’an, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya.
  2. Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan.
  3. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali.
WALLOHUA'ALAM BISHOWAB..
—-

DAFTAR BACAAN
  • Andi Syamsu Alam, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan, Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Keluarga Sakinah (Jakarta; Kencana Mas, 2005).
  • Asy’ari Abd. Ghofar, Pandangan Islam Tentang Zina Dan Perkawinan Sesudah Hamil (Jakarta; Andes Utama, 1987).
  • Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Harapan Dan Prospeknya (Jakarta; Gema Insani Prss, 1996). Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyya, Matba al-Madaniy, (t.tp., 1996).
  • H. Abdul Manan, Prof. Dr., SH., SIP.,M.Hum., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,Cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana, 2008).
  • Hasan, AI-Faraid (Surabaya, Pustaka Progressif, 1979).
  • J. Satrio, Hukum Waris (Bandung; Citra Aditya Bhakti, 1990).
  • M. All Hasan, Masail Fighiyah al-Haditsah Pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta-, Raja Grafindo Persada, 1996). Sayyid Tsabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid II (Beirut; Dar al-Fikr, 1980).
  • Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia (Bandung; Sumur, 1976)

Sabtu, 06 Mei 2017

Ibnu Taimiyah

Sejarah Hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

 

Ahli bid’ah dan ahlul batil senantiasa memiliki kepentingan dan ambisi di bawah payung kebid’ahan mereka. Setiap kali muncul ulama As-Sunnah yang menghadang mereka maka runtuhlah kepentingan dan ambisi tersebut. Sehingga merekapun berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Sunnatullah sendiri berlaku pada setiap hamba-Nya, Dia menggilirkan kemenangan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Kadang Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berkuasa, kadang ahli bid’ah dan sesat yang menjajah.
Salah satu tanda kekuasaan dan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah memunculkan di tiap seratus tahun, tokoh yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi para pemeluknya. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Sesungguhnya Allah membangkitkan bagi umat ini, di tiap ujung seratus tahun, orang yang mengembalikan kemurnian ajaran Islam ini bagi pemeluknya.” (HR. Abu Dawud no. 3740)
Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Nasab dan Kelahiran
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir rahimahullahu mengatakan: “Mereka sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun. Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang lainnya. Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.” Tetapi belakangan, banyak dari mereka yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan (istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah?
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata: “Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.” Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat, sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.

Akhlak dan Kepribadiannya

Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf nahi munkar, Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam Al-Wafi bil Wafayat (2/375): “Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan? Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.”
Demikianlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
“Tidaklah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun meninggalkannya.”
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya, membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan, dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang: “Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.”
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: “Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.”
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: “Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.”
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu mengulang-ulang ucapannya: “Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.”
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan: “Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan keislaman yang baik.”
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim rahimahullahu menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan: “Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak pula memukul.”
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir: “Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini?”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: “Saya melakukan hal itu? Demi Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya sepeserpun bagi saya.”2
Ibnu Katsir rahimahullahu, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut. Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka. Kata beliau kepada Sultan: “Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan untuk diri saya.”
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang mengikat prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka membantah: “Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal?”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam dipenjara: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta melakukan makar terhadapnya.”
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: “Di antara keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa?’
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah menghafalnya?’ Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.”
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut. Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.

Guru dan Murid Beliau

Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili, Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Seandainya Syaikh Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah –pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung dan musuh beliau–, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).”
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir rahimahullahu, penyusun tafsir yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di pemakaman Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu penulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil minum zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri rahimahullahu, dia pernah menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak, lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair, lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan) tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

from: http://haulasyiah.wordpress.com/2009/02/04/sejarah-hidup-syaikhul-islam-ibnu-taimiyah/

Imam Bukhari Rahimahullah


Imam Bukhari Rahimahullah

Posted: 07 Mei 2011 by www.syirkah.com
 
Nasab dan Kelahiran Beliau

beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Ja’fi Al Bukhari -rahimahullah- . Lahir pada bulan Syawwal tahun 194 H.

Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari hadits (ilmu) ke seluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Diantara guru-gurunya adalah : Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsaman Al Muruzi, Abu ‘Ashim Asy Syaibani, Muhammad bin Abdulloh Al Anshori, Muhammad bin Yusuf, Abu Walid Ath Thayalisi, ABdulloh bin Maslamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman,Ismail bin abu uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid Al Mukhalid, Ali Ibnu Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan masih banyak lagi -rahimakumullah-
Beliau sering pergi ke baghdad dan mengajarkan hadits disana.

Ibadah dan Muamalah Beliau
Bakar Abu Said berkata,” Ada seseorang yang membawakan barang dagangan kepada Muhammad bin Ismail (Al Bukhori), dan setelah Isya’ berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil dagangan tersebut dengan memberi untuk 5000 dirham. Beliau menyetujui dan berkata kepada merka,” Pulanglah kalian malam ini,” Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil dagangan tersebut dengan memberikan keuntungan 10000 dirham, namun beliau menolaknya dan berkata,”Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam, dan saya tidak senang membatalkan niat saya.”
Bakar Abu Said juga berkata,” Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa terganggu ketika sedang sholat. Selesai sholat dia berkata kepada para sahabatnya,” Lihatlah ini ! apa yang menggangguku di waktu sedang sholat.!”,Maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengat sebanyak 17 tempat, akan tetapi dia tidak memutuskan sholatnya. Tatkala para sahabatnya menanyakan mengapa tidak memutuskan sholat sejak awal, dia menjawab,” Karena saya sedang sholat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.”
Nasj bin Said berkata,” Ketika awal malam bulan ramadhan, para sahabat Al Bukhori berkumpul bersamanya. Beliau sholat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya, dan menghatamkannya selama 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pda waktu tersebut beliau tidak menghatamkan, maka beliau sempurnakan/selesaikan pada waktu iftar (bebuka puasa) sambil berdoa.”
Muhammad bin Yusuf berkata,” Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhori di rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu ampai 18 kali, dan pada waktu sahur beliau melakukan sholat lain 13 rakaat dengan witir 1 rakaat.”
Pujian Ulama kepadanya
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhori berkata,” Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar, ketika keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku,”Darimana kamu wahai pemuda?”, Maka akupun menjawab,” dari penduduk Bukhara.”. Bagaimana kamu justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhori dan tidak belajar kepadanya?,” keluhnya. Maka para Sahabat Muhammad bin Basyar berkata kepadanya,”Semoga engkau merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhori ) itu.” lantas Muhammad bin Basyar memegang tanganku dan memelukku. Kemudian beliau berkata,” Selamat atas kedatangan orang yang besar lagi mulai yang telah kami tunggu sejak dua tahun lalu.”
Muhammad bin Ishaq berkata,” Saya tidak melihat dibawah kolong langit ini yang lebih alim tentang hadits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah.”
Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata,” Muhammad bin Ismail dalah seorang imam. maka barangsiapa yang tidak menjadikannya sebagai imam, maka ia pantas untuk dicurigai.”

Kedalaman Ilmu Haditsnya
Para ulama dari berbagai negeri seperti Bashrah, Syam, Hjaz, dan Kufah menaruh hormat kepada Al bukhori.
Pernah Imam Al Bukhori datang ke baghdad, dan kedatangannya didengar oleh para Ulama Ahlul Hadits, mereka berkumpul dan bersepakat untuk menguji Imam Bukhori dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanad (para periwayat hadits)nya. dan menyerahkan  hadits yang sudah dibolak bailk tersebut kepada 10 orang, sehingga setiap orang mendapat jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah ditentukan untuk bermajelis telah tiba, datanglah para Ahli hadits baik dari Maghrib, Khurasan, Baghdad dan tempat lainnya.
Tatkala suasana majelis sudah nampak tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah dibolak balikkan itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada Imam Al Bukhori tentag hadits tersebut, maka Imam Al Bukhori menjawab,” Aku tidak tahu tentang hadits tersebut.” lalu dibacakanlah lagi hadits berikutnya dan ditanyakan lagi kepadanya. Dia menjawab lagi “Tidak tahu.” demikian sampai 10 hadits. para Ahli hadits yang hadir di majelis saling berpandangan satu sama lain dan berkata,” Jawaban al Bukhori itu menunjukkan dia orang yang lemah dan sedikit hafalan serta pemahamannya.”
Lalu mulailah orang kedua, ketiga, kempat sampai selesai 10 orang yang membacakan semua hadits yang dibolak balik tadi sehingga mencapai 100 hadits. dan setiap ditanya tentang hadits yang dibacakan kepadanya, Imam bukhori tetap menjawab,” Saya tidak tahu hadits tersebut.” Tidak lebih dari itu. Ketika Imam Bukhori mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut telah selesai, maka beliau menghadap kepada orang orang pertama yang membacakan hadits tadi dan berkata,” Adapun haditsmu yang pertama seperti itu maka yang benar begini, haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah dibolak balik sebagaimana semula. demikianlah yang diperbuat Imam Al Bukhori kepada 10 orang tersebut. Hingga manusia menetapkan kuatnya hafalan Imam Al Bukhori dan keutamaannya.

Majelis Imam Al Bukhori
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Bagdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberapa kali di baghdad, yang hadir pada setiap majelisnya lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga disampaikan Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhori berkunjung ke Bashrah, dan berada di dalam Masjid jami’, tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah, mereka meminta kepadanya untuk membuah sebuah majelis ilmu. maka berkumpullah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits para huffazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluar ungkapan,” Telah hadir pada hari ini Sayyidul fuqoha’ (penghulu para ahli fiqih).

Hikmah
Abu Sa’id Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin AHmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail agar mengajarkan kitab jami’, At tarikh dan seterusnya (secara privat), Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut,”Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan kerumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya, jika tidak, engkau dalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga saya memiliki udzur di hadapan Alloh Azza wa Jalla pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,” barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka dia akan dikekang dengan tali kekang dari neraka.”
Imam Bukhori berkata,” gerakan, suuara dan tulisan mereka adalah makhluq, adapaun Al Qur’an yang dibaca, yang tetap dalam mushaf yang tertulis dan yang terjaga (dihafal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluq, Alloh Azza wa Jalla berfirman,” Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu,” [QS Al Ankabut 49]
Ibrahim bin Muhammad setelah penyelenggaraan jenazah Muhammad bin ismail berkata bahwa Shahibul Qishar kemarin bertanya kepada Muhammad bin Ismail,” Wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Al Qur’an?’ Beliau menjawab,” Al Quran adalah kalamulloh bukan makhluq” Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad ) berkata,” Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an ! dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an.” Maka beliau menjawab,” Astaghfirrullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakan sebagaiman firman Alloh Azza wa Jalla ,” Demi Thur dan demi kitab yang tertulis.” [QS Ath Thur 1-2]

Wafat beliau
Abdul Wahin bin Adam berkata,” Saya melihat Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam didalam mimpi bersama para sahabatnya. beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan beliaupun menjawab salamnya. Aku bertanya,” Mengapa berhenti disini wahai Rosululloh?.” Beliau menjawab,” Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhori.” , Setelah beberapa hari maka datanglah kabar tentang kematian Imam Al Bukhari, dan tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat saat aku bermimpi bertemu dengan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Abul Hasan bin Salim berkata,” Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari meninggal pada malam sabtu malam idul fitri tahun 256 H.”
Yahya bin Ja’far berkata,” Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail Al Bukhori, maka akan saya lakukan. Karena kematianku adalah kematian seorang biasa, namun kematian Al Bukhori adalah hilangnya ilmu.”
maraji:
Tarikh Al Baghdad, karya Al Khatib Al baghdadi
Siyar A’lam An Nubala kaya Imam Adz Dzahabi

AQIQAH SURABAYA

AQIQAH SURABAYA
Syirkah Aqiqah 0851 000 999 16